Beranda | Artikel
Membajak Hak Cipta Karya Ilmiah Bagai Utang Dunia-Akherat
Sabtu, 1 April 2017

Hukum Membajak Hak Cipta Karya Ilmiah

 

Perkembangan mutakhir mesin cetak telah membuka peluang terjadinya pembajakan karya ilmiah. Bagaimanakah perlindungan hak cipta karya ilmiah dalam Islam? Bolehkah mengambil upah dari hasil karya tulis tentang agama?

Oleh Ustadz DR. Erwandi Tarmidzi, MA
(Artikel ini Pernah Dimuat di Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia Edisi Desember 2011)

Menulis buku mengenai tuntunan Islam dalam segala sisi kehidupan—akidah, ibadah, muamalah, akhlak atau lainnya—merupakan salah satu cara menyebarkan risalah agama Allah, selain menyebarkan agama secara cara lisan yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Para pembawa risalah nubuwwah menggunakan metode ini dari masa ke masa, hingga sekarang. Sebagai bukti, buku-buku tulisan para ulama Islam sejak abad ke-2 Hijriyah hingga abad ini masih dapat dinikmati oleh generasi sekarang.

Buku Imam Malik (wafat pada 179 Hijriyah) yang berjudul Al Muwaththa, yang ditulisnya pada abad ke-2 H, dapat diperoleh di toko-toko buku, bahkan menjadi koleksi perpustakaan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Para ulama Islam dari masa ke masa menghabiskan hidup mereka untuk menulis karya ilmiah. Harapannya dapat menjadi “tabungan” mereka di akherat kelak, kampung nan abadi. Mereka termotivasi oleh sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

“Apabila seorang manusia wafat, amalannya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat (yang diajarkan/ditulis) dan anak saleh yang mendoakannya”.–HR Muslim

Setelah mesin cetak ditemukan, sebuah karya ilmiah sangat mudah digandakan, kemudian diperjual-belikan dengan harga terjangkau. Apakah penulisnya boleh memiliki hak ciptanya, yang kemudian dijual kepada penerbit? Para ulama kontemporer masih berbeda pendapat.

Pendapat Pertama

Penulis tidak boleh mengambil imbalan atas hak cipta karya ilmiah di bidang keislaman. Jika diambil, termasuk harta haram, mengingat menulis karya ilmiah keislaman adalah ibadah yang dilarang mengambil upah dalam pelaksanaannya. Pendapat ini didukung Prof. Dr. Ahmad Al Kurdi dan Syaikh Abdullah bin Bayyah. (Dr. Husein As Syahrani, Huququl Ikhtira’ wat Ta’lif Fil Fiqh Al Islami, hal 241).

Dalil-dalil pendapat pertama:

1. Sabda Nabi Shallallahu alaih wa sallam,

“Barang siapa yang menyembunyikan ilmu niscaya Allah akan mengekang mulut orang tersebut di hari kiamat dengan kekangan dari api neraka”—HR Ahmad dan Ibnu Hibban (Al Arnauth berkata,” Sanad hadist ini hasan“). Ancaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tersebut akan menimpa penulis yang mengambil imbalan uang atas hak ciptanya, karena dengan perbuatannya menyembunyikan ilmunya dan tidak mau menyebarkannya kecuali dengan diberi imbalan.

Tanggapan:

Dalil ini tidak kuat. Karena yang dilarang adalah menyembunyikan ilmu, dan bukan mengambil imbalan atas jerih payah penulis, yang menghabiskan waktu dan tenaga tidak sedikit untuk menyusun karya ilmiah. Sungguh ia berhak mendapat imbalan atas waktu dan tenaga yang telah tersita, sebagaimana upah dari setiap pekerjaan lainnya. Kemudian penulis bukannya menyembunyikan ilmu, bahkan sebaliknya, ia menyebarkan ilmu melalui karya ilmiahnya.—Dr. Husein As Syahrani, Huququl Ikhtira’ wat Ta’lif Fil Fiqh Al Islami, hal 263)

2. Menulis buku agama merupakan ibadah kepada Allah, dan tidak boleh mengambil upah atas pelaksanaan sebuah ibadah.

Tanggapan:

Dalil ini juga tidak kuat. Karena menulis mengenai keislaman, sekalipun statusnya ibadah, namun tidak terlarang mengambil upah atas pelaksanaannya, sebagaimana mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya melalui lisan.

Pendapat Kedua

Penulis buku mengenai ajaran Islam boleh mengambil upah atas hak cipta penulisannya. Pendapat ini merupakan keputusan berbagai lembaga fiqh internasional. Di antaranya:

1. Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami (Divisi Fiqh Rabitah Alam Islami) dalam rapat tahunan IX di Mekkah, 1986 M, keputusan No. 4, berbunyi:

“Buku-buku dan penelitian ilmiah, dahulu sebelum ditemukan mesin cetak yang dapat mencetak ribuan naskah, sarana untuk penyalinan naskah hanyalah tulisan tangan. Terkadang seorang penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin sebuah naskah, terutama buku yang jumlah halamannya sangat banyak.

Pada waktu itu, para penyalin bertugas sebagai khadim (pembantu) penulis, di mana ia menyalin tulisan gurunya dalam rangka menyelamatkan naskah asli agar tidak punah.

Para penyalin sama sekali tidak memiliki tujuan untuk mencari keuntungan duniawi dari penggandaan naskah asli yang ditulis ulama, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk berkhidmat terhadap ilmu gurunya serta menyebarkannya kepada khalayak ramai.

Setelah mesin cetak ditemukan dan bermunculannya usaha penerbitan, keadaan berubah total. Terkadang seorang penulis menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk membuat sebuah karya ilmiyah yang berguna, lalu ia terbitkan dan dijual. Lalu muncul seseorang yang membajak bukunya, mencetaknya ataupun di masukkan ke berbagai media penyimpanan (CD) atau lainnya, kemudian dijual menyaingi cetakan asli penulisnya.

Tindakan pembajakan ini membuat para ilmuwan malas berkarya, karena usaha kerasnya akan dicuri orang lain, bila dia sebarluaskan ke tengah masyarakat.

Dengan adanya perubahan keadaan dahulu dan sekarang di dunia penulisan ilmiah dan penerbitan, maka dibutuhkan ijitihad baru untuk menetapkan hak orang yang telah bersusah payah.

Oleh karena itu, hak cipta penulis, peneliti dan penemu wajib dilindungi syariat. Hak cipta itu adalah milik pembuatnya yang tidak boleh diambil tanpa seizinnya …

Demikian juga penerbit yang telah membuat kontrak dengan penulis, tidak berhak mengubah apa pun isi tulisan tanpa izin penulis.

Hak cipta dapat diwariskan kepada ahli waris, sebagaimana diatur oleh undang-undang internasional yang tidak bertentangan dengan syariat Islam“.—Qararat Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami, hal. 193-194.

2. Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh Organisasi Kerjasama Islam/OKI) melalui keputusan No. 43 (5/5), muktamar ke-5, 1988 M di Kuwait, yang berbunyi:

Hak cipta dan hak paten dilindungi syariat, pemiliknya berwenang menggunakannya dan tidak boleh dilanggar“. –Journal Majma’ Al Fiqh Al Islami, Edisi V, Jilid III, hal 2267

3. Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi, Fatwa No. 18453, berbunyi:

Tidak boleh menggandakan program komputer yang hak patennya dilindungi undang-undang tanpa seizin pemiliknya“. –Fatwa Lajnah Daimah, Jilid XIII, hal. 188

Dari fatwa tentang hak paten dapat diqiyaskan hak cipta penulisan karya ilmiah. Dalil-dalil dari pendapat ini:

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

Sesungguhnya upah imbalan Al-Quran pantas untuk kalian terima“.—HR Bukhari

Hadist ini menunjukkan bahwa boleh mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Quran, maka mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang diambil dari Al-Quran hukumnya juga boleh. Dan mengajarkan ilmu bisa dengan cara lisan dan juga bisa dengan cara tulisan dalam bentuk karya ilmiah. Dengan demikian, mengambil upah atas usaha penulisan karya ilmiah dalam bidang ilmu-ilmu keislaman hukumnya boleh.—Dr. Adil Syahin, Akhzul Maal ala a’malil Qurab, Jilid II, hal. 586

Seorang penulis untuk menghasilkan sebuah tulisan dalam bidang keislaman menghabiskan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, bahkan lebih banyak dibandingkan mengajar Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman. Maka, sebagaimana dibolehkan mengambil upah atas mengajarkan Al-Quran, demikian juga halnya mengambil upah atas hak cipta.

Hasil karya penulisan merupakan hak milik penulis. Oleh karena itu sebuah tulisan dinisbahkan kepada penulisnya, seperti sering diucapkan, “Menurut Si Fulan dalam bukunya … “. Bila disepakati bahwa karya tulis adalah milik penulisnya, sebagaimana kepemilikan seseorang terhadap sebuah benda, ia berhak menjualnya. Maka begitu juga dengan kepemilikan hak cipta.—Dr. Husein As Syahrani, Huququl Ikhtira’ wat Ta’lif Fil Fiqh Al Islami“, hal. 248

Para ulama terdahulu, sebagian mereka, mengikhlaskan usahanya dalam penulisan buku, tidak menjual hak ciptanya, dihibahkan kepada seluruh kaum Muslimin. Dan tradisi ini juga diteruskan oleh sebagian para ulama kontemporer dengan mencantumkan pada halaman depan buku karya mereka “Buku ini boleh diperbanyak untuk dibagikan cuma-cuma (bukan untuk komersial) atau “Hak cipta buku ini untuk setiap Muslim”.

Namun, sebagian ulama terdahulu juga ada yang menjual buku-bukunya. Abu Nu’aim Al Asfahani menjual bukunya yang berjudul Hilyatul Auliya’ di Naisabur dengan harga 400 keping uang dinar (± 1,7 kg emas murni). Harga sebegitu mahal tidak mungkin imbalan pengganti kertas dan tinta.

Ibnu Hajar Al Asqalani menjual salah satu bukunya yang dibeli oleh raja Athraf seharga 300 keping uang dinar (± 1,3 kg emas murni). Harga ini juga sebagai imbalan hak cipta dan bukannya pengganti kertas dan tinta.

Dan tidak seorang pun ulama yang mengingkari penjualan buku karya tulis tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘urf yang berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwa hak penulisan buku adalah milik penulis yang boleh diganti dengan uang.—Dr. Bakr Abu Zaid,” Fiqh An Nawazil, Jilid II, hal. 173

Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa pendapat yang paling kuat bahwa hak cipta penulisan buku dan karya ilmiah di bidang keislaman adalah milik penulis, ia berhak menjual dengan harga yang disepakati dengan pembeli (penerbit).

Dan karena hak cipta adalah hak yang diakui syariat, haram hukum melanggarnya dengan cara membajak, memperbanyak tanpa seizin penulis, menerjemahkan ke dalam bahasa lain atau disimpan pada media seperti compact disc (CD) lalu menjualnya tanpa seizin penulis. Jika tetap dilakukan, sungguh pembajaknya telah mencuri hak orang lain, yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akherat, karena uang hasil pembajakan merupakan harta haram.

Dan bila saja hak cipta menulis buku keislaman, yang merupakan ibadah dilindungi oleh syariat, hak cipta menulis buku-buku ilmiah lainnya yang berguna, hak intelektual sebuah penelitian atau penemuan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah … juga dilindungi syariat, dan tidak boleh dibajak dan ditiru tanpa seizin pemilik hak cipta.

Allahu a’lam.

Pull Quote

  1. Di masa sekarang, setelah mesin cetak ditemukan, sebuah karya ilmiah sangat mudah digandakan, kemudian diperjual-belikan dengan harga terjangkau. Apakah penulis karya ilmiah boleh memiliki hak ciptanya yang dapat ia jual kepada penerbit?
  2. Untuk menghasilkan tulisan bidang keislaman, ulama menghabiskan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Bahkan lebih banyak dibandingkan mengajar Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman. Maka, sebagaimana dibolehkan mengambil upah atas mengajarkan Al-Quran, demikian juga halnya mengambil upah atas hak cipta.

Boks:

  • Karya ilmiah Islam merupakan bagian dari kegiatan penyebaran dakwah. Penulis berhak mendapatkan pahala meskipun sudah meninggal dunia, karena manfaat ilmunya.
  • Ulama masih berselisih pendapat mengenai hukum menjual hak cipta karya ilmiah Islam.
  • Sebagaimana dibolehkan mengambil upah karena mengajar Al-Quran, demikian juga dibolehkan menjual hak cipta karya ilmiah, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama kontemporer.
  • Islam melindungi hak cipta semua karya ilmiah, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu dunia.
  • Hak cipta karya ilmiah milik penulis—penulis berhak menjualnya atau memberikan kepada orang lain.
  • Semua aturan hak cipta dalam undang-undang masyarakat diakui Islam, selama tidak bertentangan dengan syariat.
  • Pembajakan terhadap hak cipta merupakan kedzaliman yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan akherat.

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5860-membajak-hak-cipta-karya-ilmiah-bagai-utang-dunia-akherat.html